Melihat perkembangan dan pertumbuhan bisnis e-commerce yang sangat cepat di dunia termasuk Indonesia, diperlukan suatu strategi yang efektif dari otooritas perpajakan untuk bisa menarik pajak di sektor bisnis yang relatif baru tersebut. Selama ini, perpajakan dalam e-commerce telah menjadi sorotan perpajakan di dunia, terutama seputar pertanyaan apakah harus ada pengenaan pajak terhadap transaksi e-commerce ini dan juga bagaimana menyeleraskan peraturan perpajakan yang ada dengan perkembangan e-commerce. Sementara, salah satu hal yang perlu menjadi perhatian adalah pertumbuhan yang sangat pesat tersebut harus tetap dijaga agar tidak terjadi distorsi akibat kebijakan perpajakan.
Beberapa negara yang tergabung dalam OECD (Organisation for Economic Cooperation and Development) sepakat bahwa setiap perubahan pada aspek perpajakan bagi e-commerce agar dilakukan melalui kerjasama dan perjanjian internasional dengan berdasarkan pada prinsip dasar perpajakan. Lima prinsip dasar perpajakan tersebut adalah neutrality, efficiency, certainty and simplicity, effectiveness and fairness, dan flexibility, prinsip ini juga berlaku bagi semua perdagangan none-commerce.
Amerika Serikat sebagai pionir dari e-commerce menerapkan Internet Tax Freedom Act yang diawali tahun 1998 pada masa pemerintahan Bill Clinton dan telah diperpanjang beberapa kali hingga masa pemerintahan George W. Bush yang kemudian berlaku terakhir sampai dengan November 2014. Peraturan ini melarang pengenaan pajak pada akses internet, penggunaan bandwith internet, dan penggunaan email. Namun demikian, semua ketentuan perpajakan bagi perdagangan konvesional berlaku sama untuk perdagangan melalui e-commerce.
Untuk e-commerce, Kanada menetapkan bahwa semua bisnis yang dilakukan melalui internet diperlakukan sama dengan bisnis biasa. Penghasilan dari e-commerce termasuk dalam kategori penghasilan biasa dan mendapatkan perlakuan sesuai dengan kentuan undang-undang pajak penghasilan yang berlaku. Ketetapan yang sama juga berlaku bagi perdagangan yang terkena pada pajak penjualan, seperti GST (Goods and Services Tax) dan HST (Harmonized Sales Tax).
Jepang juga memperlakukan hal yang sama bahwa tidak ada pengenaan pajak yang baru bagi e-commerce dan mendapatkan perlakuan yang sama dengan perda gangan biasa. Untuk pengawasan kepatuhan pajak terhadap e-commerce, otoritas perpajakan di Jepang membuat suatu satuan khusus yang disebut dengan PROTECT (Professional Team for E-commerce Taxation). Tim yang dibentuk pada setiap kantor wilayah pajak ini “memburu” pelaku usaha e-commerce yang tidak melakukan kewajiban perpajakannya. Dengan dibentuknya satuan khusus, terbukti cukup efektif untuk mengumpulkan pajak bagi penerimaan negara Jepang yang selama ini bersembunyi di balik bisnis e-commerce.
Hampir semua negara bersikap wait and see dalam menyikapi pajak dalam e-commerce. Hanya negara-negara Uni Eropa yang agak berbeda. Apabila seseorang ber maksud menjual barang dan jasa melalui sarana internet dan telah memenuhi nilai penjualan dalam batas tertentu, diwajibkan baginya untuk mendaftarkan diri di salah satu negara anggota Uni Eropa dan memungut PPN (Pajak Pertambahan Nilai) bagi pembelinya.